Berdirinya Giri Kedhaton
Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450
Masehi terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran
masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan.
Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul
Sengara.
Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang
Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda,
datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai ( Aceh sekarang ),
yang masih berkerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama
Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati
mengadakan sayembara, dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian
pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang putri berangsur-angsur
sembuh.
Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara,
barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan
dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh
Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.
Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini
disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh
keluarga untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari
Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah
hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh
Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas
Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua
kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap
menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada
ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam
karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi
terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu
yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang
tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini
menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan
belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan
sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri
kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa)
dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah
berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak
peti itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah
sang saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim
Gresik yang tengah berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap
ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya
kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-tanya, ada kesalahan
apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten?
Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah
mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi,
cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu
dititipkan kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang
bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu
tahu telah menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan
aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan
dapat kembali tenang.
Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.
Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada
majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang
sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan.
Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh
orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah
anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi
itu hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu
dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.
Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi
Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan
diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati
Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk
diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan Bonang).
Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan Derajat.
Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan Lamongan,
yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka
Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera,
diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal
dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel
bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak
bila sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat
berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia
menyatukan komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal
dengan nama Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari
kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri
berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama Giri
Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).
Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu
Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan
pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah
mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan
Islam bertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit
hancur oleh serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun
1487 Masehi. (Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi).
Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit.
Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan
melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya
berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng atau
munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa
membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan
nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri,
melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu
mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.
Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu
Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya,
selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa membahayakan.
Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang
bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang
merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban menjalankan
janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili siapa saja yang
bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang
lain, yaitu ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air),
Raja harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya
bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah),
Raja harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung
semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung
semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan
jaminan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti
Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ),
Raja harus mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari
kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari
kegelapan dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang),
Raja harus mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian
hukum bagi rakyat demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan
bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti
dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut
ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.
Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan
sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun
juga Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar
fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.
Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam
terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya
Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak menginginkan berdirinya
Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan
Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan
untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh
dijalankan didaerah-daerah tertentu.
Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua
dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan
Sunan Ampel. Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk
Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).
Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal
ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup.
Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant Islam dan
ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian
frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan banyak
korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke
Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan
anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang,
santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan
Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa
Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka ).
Berdirinya Ponorogo.
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan
Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari
Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha
Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja
Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi
Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.
Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi
inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha
Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan
nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan
harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang
dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng
Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah
pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini
disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari
kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden
Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan
tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad,
bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang
Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati
gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak
menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara
Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita
itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat
persembunyian Raden Bathara Katong.
Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker
karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik.
Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak
Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an
Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses
langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden
Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan
melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker.
Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan
yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.
Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong
harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong
harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia
harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki
Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah
membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu sudah
berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk
mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri.
Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja
Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus
mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan
teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki
Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka
Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke
Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!
Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng
Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.
Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh
dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka
politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan
niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta
menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura Handaka. (Sura
Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan
masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar
Shashangka).
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.
Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan
Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik
dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai
Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden
Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak (Horisontal).
Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari
seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh
Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan
militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.
Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam,
dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng
Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur
ke Majapahit.
Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.
Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa
kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton,
bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya
diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu,
beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui
oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama
Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh
pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap
menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh
berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan
Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus
bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata,
melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah.
Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil
dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria
sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya!
Alam telah merekamnya!
Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya
berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki
Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya
Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih,
bukannya bersuka cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus
saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena
disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria
yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan
militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan
Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!
Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat
pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya
menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah
berhasil menjadi Kadipaten Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar