Kubu Abangan
Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang
sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga,
mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali
mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada
mendirikan sebuah Negara Islam.
Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya
Teja adalah keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya
Ranggalawe yang berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan
Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa ( Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.)
Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak
kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan
kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat,
Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain (seperti yang telah saya tulis pada bagian pertama : Damar Shashangka).
Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut
Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak
Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan
Lamongan, Sunan Majagung ( sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.
Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.
Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar,
beliau adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau
sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan
berdirinya Negara Islam Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan
keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari
Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai
seorang Mufti.
Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.
Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan
Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap
sangat membahayakan Islam.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen Majapahit.
Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak dipesisir utara Jawa.
Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah
telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu Brawijaya
tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.
Keturunan di Pengging
Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan
dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang
sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi
Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas
disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan
menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang
permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah
menjadi Negara Islam.
Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan
militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana
yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit dengan cara
pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai
oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih
bisa berjalan.
Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan.
Dari hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang
anak. Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan Adipati
Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging ( sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang), putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak,
Raden Gugur inilah yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya
sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan,
hingga sekarang : Damar Shashangka).
Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak
tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden
Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.
Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati
Handayaningrat IV, lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo
Kenanga. Keduanya juga tidak tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan
pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di
Gunung Merapi ( didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai
Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain
adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat
limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta
Majapahit.
Kebo Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang
satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama
tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi
tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara
Shiva Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal
yang masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar
dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan
konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti Jenar
yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng
Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang
benar bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak
ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah Dan juga, Ki
Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar
hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan
bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging
dan Syeh Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setalah
Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat
ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun
Ki Ageng Pengging gugur karena korban kepicikan.
Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai
sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang
sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya
tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa, walaupun
tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan.
Ironis.
Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa.
Yaitu Mas Karebat atau Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang
setelah Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya.
Keturunan di Tarub
Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya terserang
penyakit Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras
berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel.
Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura
Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon,
setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat
petunjuk sangat jelas.
Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.
“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita
berdarah Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”
Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya
termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan
Istana yang berasal dari daerah Wandhan (Bandha Niera, didaerah Sulawesi).
Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah
Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari
Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia
sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan
nama Dewi Wandhan Kuning.
Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.
Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning
harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah
Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang
Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi
malah mengambil seorang pelayan.
Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang
anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah
Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.)
Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen (Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa).
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala
sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen
dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki
Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan,
maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi
Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama
menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang
itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas : Damar Shashangka).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub.
Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi
Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan Kejawen
bergelar Ki Ageng Tarub II.
Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih,
lahirlah Raden Getas Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki
Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak
ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang petir
sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak (simbolisasi lagi, kapan-kapan saya ulas : Damar Shashangka).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat
Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk
Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini
berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul Rahman.
Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng
Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan
lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti
Mataram Islam dikemudian hari. [Panembahan Senopati Ing Ngalaga
Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan
Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang].
Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.
Raden Patah.
Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?
Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki
seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim
Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar sendiri,
lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama muslim
Raden Hussein.
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh
ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada
ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk bertemu dengan ayah
kandungnya, Prabhu Brawijaya.
Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari
Palembang, Raden Hassan bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan
Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan
kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit.
Menilik di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.
Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden
Hassan memutuskan untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan
Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden Hassan setelah
mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang.
Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.
Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden
Hassan mulai tertarik dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi
Raden Hassan mulai terbentuk.Ada kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.
Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah
otonomi khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui,
hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah. Jika
itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa
bagian tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari
Jawa Timur dan Jawa Barat di Cirebon.
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah
pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja
Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah belum datang
dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi. Pada bagian
selanjutnya akan saya ceritakan : Damar Shashangka).
Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke
Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia
disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi nama baru oleh
Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat
Jawa dengan nama Raden Patah.
Selesai bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan
nama Raden Patah melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit.
Dia yang semula hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia
telah membawa misi tertentu.
Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra kandungnya telah
tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah memohon anugerah untuk
diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya mengabulkannya. Raden Patah
meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia memilih daerah yang
dikenal dengan nama Glagah Wangi.
Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai
segala keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan
disokong tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di
daerah pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia
membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten
dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah,
dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom
Islam baru disana.
Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan
politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan keagamaan. Demak
Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan timur pesisir utara
Jawa.
Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat.
Sayang, fenomena itu tetap dipandang sepele oleh Prabhu Brawijaya.
Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu mengontrol semuanya.
Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara sudah
melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik
Sandhibaya telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang
patut dicurigai akan mengancam kedaulatan Majapahit.
Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian dengan Arya
Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai tentara di
Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian
ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung ( Sidoarjo, sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha.
Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang
tidak disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan
menuai masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal
menunggu waktu untuk pecah kepermukaan.
Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar